Kamis, 13 Juni 2013

Teknik Evaluasi Kinerja Kebijakan Balance Scorecard (BSC)


Dalam pembahasan mengenai suatu teknik evaluasi, akan lebih baik jika memahami lebih dulu makna dari evaluasi itu sendiri. Nugroho (2003) mengemukakan bahwa evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan sejauh mana tujuan kebijakan dapat dicapai. Jadi, evaluasi digunakan untuk melihat kesenjangan antara harapan dari pembuatan kebijakan dengan realitanya.

Michael Howlet menyatakan bahwa evaluasi kebijakan merupakan proses mendapatkan gambaran tentang kebijakan publik dalam pelaksanaan, baik alat yang dipakai maupun tujuan yang diberikan. Sedangkan menurut David Nachmias, evaluasi kebijakan adalah sebagai pengamatan empiris tentang pengaruh kebijakan yang berjalan dan program pemerintah yang telah ditentukan dalam tujuan yang akan dicapai. Evaluasi memberikan klarifikasi dan kritik terhadap nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.

Dari beberapa penjelasan sebelumnya, evaluasi kebijakan dapat didefinisikan sebagai suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik pengukurannya, dan metode analisisnya. Oleh karena itu, terdapat kegiatan-kegiatan seperti spesifikasi, pengukuran, analisis, dan rekomendasi yang mencirikan segala bentuk evaluasi.

Tujuan utama diadakannya evaluasi adalah untuk mengukur kinerja suatu program atau kebijakan. Secara umum, pengukuran kinerja sendiri merupakan suatu proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian sasaran, tujuan, misi, dan visi proses pelaksanaan suatu kegiatan. Jadi, evaluasi kinerja berguna untuk meningkatkan produktivitas suatu program atau kebijakan kedepannya. Dalam mengevaluasi kinerja suatu kebijakan, dapat digunakan beberapa teknik evaluasi, salah tunya adalah teknik evaluasi Balance Scorecard (BSC).


Pengertian Balance Scorecard (BSC)
Balanced scorecard (BSC) sebenarnya bukanlah satu-satunya teknik evaluasi yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu kebijakan.  Selain BSC, juga ada teknik evaluasi Basic Production Model (BPM) dan Cost Benefit Analysis (CBA) untuk mengevaluasi kinerja kebijakan. Secara mendasar, perbedaan evaluasi BSC dengan dua teknik evaluasi itu adalah pada fokusan yang dievaluasi dalam suatu kebijakan.

BSC adalah salah satu teknik evaluasi untuk menilai kinerja suatu kebijakan, program, atau instansi, baik itu instansi publik atau privat. Jadi, pada dasarnya teknik evaluasi ini tidak hanya digunakan untuk mengevaluasi kinerja suatu program atau kebijakan publik. Akan tetapi, BSC juga sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja sebuah perusahaan atau institusi.

Seperti yang diketahui, Balanced Scorecard (BSC) terdiri dari kata balanced (berimbang) dan scorecard (kartu nilai). Balanced artinya dalam teknik evaluasi ini kinerja terkait kebijakan diukur secara berimbang dari dua aspek, misalnya keuangan dan non-keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Sedangkan, scorecard merupakan ukuran kinerja objek yang dibandingkan dengan kinerja yang direncanakan yang berguna sebagai evaluasi. Jadi, objek (kebijakan, program, instansi) harus memperhitungkan keseimbangan antara pencapaian kinerja keuangan dan non-keuangan, kinerja jangka pendek dan jangka panjang, serta antara kinerja bersifat internal dan kinerja eksternal agar kartu skor objek menunjukkan skor yang memang hendak diwujudkan ke depan.

Penerapan BSC dalam Mengevaluasi Kebijakan
Prinsip dasar BSC adalah memfokuskan pada kondisi keuangan, pelanggan, proses internal, pembelajaran dan pertumbuhan sekarang. Oleh karena itu, dalam penerapan BSC, dilakukan penerjemahan visi dan strategi objek (kebijakan atau institusi) yang ditetapkan ke dalam tujuan konkrit terorganisasi berupa 4 jalur perspektif yang berbeda, yaitu finansial, pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. 

Fokusan BSC menjadi dasar dalam menentukan munculnya 4 jalur perspektif BSC. Dan itu adalah acuan utama dalam tahap-tahap evaluasi BSC. Berikut adalah tahapan dalam melakukan evaluasi BSC:

1. Menggali seluruh informasi yang ada terkait kebijakan dan institusi yang dievaluasi melalui wawancara dan pengumpulan data sekunder/primer yang ada. Setelah itu informasi-informasi yang didapat diformulasikan menjadi visi (sasaran) strategis, indikator strategis, dan perspektif BSC. Oleh karena itu, data yang didapat harus berhubungan untuk pemformulasian itu.

2. Memberi bobot pada  setiap perspektif, sasaran strategis, dan indikator strategis. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan dan peran masing-masing hal itu terhadap pencapaian tujuan kebijakan. Bobot ditentukan berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan perancang kebijakan. Bobot masing-masing perspektif, sasaran, dan indikator akan semakin besar andaikan peranannya semakin penting terhadap pencapaian tujuan kebijakan.


3. Menilai realisasi capaian dari masing-masing perspektif dalam satuan persen.

 4. Menghitung skor masing-masing perspektif. Rumusnya: Realisasi /(BobotPerspektif X Target). Satuan Realisasi dan Target  dalam bentuk persen.

 5. Penjumlahan skor seluruh 4 perspektif untuk mengetahui totalnya (hasil BSC). Jika skor akhirnya 85-100% (sangat berhasil (green)); 70-85% (berhasil (green)); 55-70% (kurang berhasil (yellow)); 0-55% (tidak berhasil (red)).


 Kelebihan dan Kekurangan BSC 
Bagaimanapun juga setiap teknik evaluasi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari BSC:
1.    Kelebihan
·      Teknik evaluasi BSC ini termasuk tekni evaluasi yang cukup komprehensif karena melakukan evaluasi berdasarkan 4 perspektif berbeda.
·      BSC menunjukkan indikator serta hasil akhir yang jelas dan terukur.
2.    Kekurangan
·      BSC tidak terlalu fokus/efektif dalam melihat proses penentuan strategi kebijakan.
·      Hasil akhir tidak menunjukkan secara terperinci kinerja bagian-bagian dalam kebijakan yang dievaluasi dan penyebab-penyebab munculnya realitas hasil yang dievaluasi .

Daftar Pustaka
Nugroho D, Riant (2003). Kebijakan Publik  Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta : PT. Gramedia.
http://hanitheplanner.wordpress.com/2011/06/19/teknik-evaluasi-kebijakanprogram-dengan-balanced-scorecard/
http://www.slideshare.net/afrizalbob3/program-kb


Senin, 09 Januari 2012

Bangkingan dan Sumur Welut, Bagaimana Pengembangannya?


Sebagai sebuah kota besar di Indonesia, Surabaya masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Mulai dari penataan bangunan cagar budaya, penambahan RTH di beberapa titik kota, pengembangan moda transportasi massal, dan pembangunan berbagai infrastruktur. Di samping itu, penanganan berbagai masalah perkotaan juga menjadi pekerjaan tersendiri bagi Pemerintah Kota Surabaya yang harus segera diselesaikan. Kemacetan di beberapa ruas jalan, banjir, bangunan mangkrak, masalah persampahan, dan semakin tingginya tingkat density bangunan adalah beberapa contoh masalah yang ada di Kota Pahlawan.
       Kota Surabaya yang disebut sebagai kota metropolitan kedua setelah Jakarta tentunya juga mempunyai daerah pinggiran kota yang perlu untuk dikembangkan. Akan tetapi, saat ini Pemkot Surabaya terlihat tidak terlalu memprioritaskan salah satu pekerjaannya itu. Contoh daerah pinggiran kota yang tidak terlalu terjamah oleh pengembangan adalah beberapa daerah di Surabaya Barat. Beberapa daerah tersebut antara lain berada di Kecamatan Lakarsantri. Dengan masih adanya daerah pinggiran Kota Surabaya yang perkembangannya lambat, maka pemerintah kota seharusnya segera melakukan tindakan nyata untuk mengembangkan wilayah itu.
        Sebenarnya, sebagian wilayah di Kecamatan Lakarsantri telah di kembangkan menjadi sebuah kawasan perumahan menengah ke atas milik PT Ciputra Surya Tbk, yaitu Citraland di Lidah Kulon. Sedangkan, beberapa kelurahan masih belum dikembangkan oleh pemerintah kota. Beberapa contohnya adalah daerah di Kelurahan Bangkingan dan Sumur Welut. Wilayah di kedua kelurahan itu sudah cukup terlayani oleh berbagai sarana prasarana, seperti air bersih, listrik, dan jalan. Walaupun begitu, perkembangan di daerah itu tidaklah terlalu pesat.
     Kondisi wilayah di Kelurahan Lakarsantri dan Bangkingan memang tidaklah semaju wilayah di Kelurahan Lidah Kulon yang terdapat Citraland di dalamnya atau wilayah Surabaya Pusat yang memang sangat maju dengan bangunan-bangunan tingginya. Akan tetapi, daerah pinggiran Kota Surabaya itu memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan. Lalu, sebenarnya apa pengembangan yang cocok bagi kedua kelurahan tersebut?
      Jika dilihat dari penggunaan lahannya, daerah di Kelurahan Bangkingan dan Lakarsantri didominasi oleh permukiman, waduk, sawah, dan lahan kosong. Hal itu secara langsung memperlihatkan bahwa daerah di kedua kelurahan itu masih seperti desa yang agak lebih maju jika dibandingkan dengan desa-desa di suatu Kabupaten di Jawa Timur. Dengan kondisi penggunaan lahan seperti itu, tidaklah mengherankan jika di daerah tersebut masih ada penduduk yang berprofesi sebagai petani dan banyak penduduk yang berprofesi sebagai pedagang. Selain itu, kedua kelurahan itu tergolong masih memiliki udara yang segar dan tingkat polusi yang sangat rendah.       
   Dengan kondisi eksisting yang terlihat seperti itu, maka perlu dilakukan proses pengembangan yang tepat. Dengan dilakukannya pengembangan yang tepat, diharapkan dapat meningkatkan ekonomi daerah itu (meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya) tanpa mengurangi kualitas lingkungannya.
 Pada saat ini, tanah-tanah kosong di kedua kelurahan itu sebenarnya sudah mulai diincar oleh banyak pengembang. Bahkan, sudah banyak lahan yang sudah mulai dibangun perumahan-perumahan formal oleh beberapa pengembang. Hal ini tentu saja menjadi hal yang wajar. Sebagai daerah pinggiran kota, kedua kelurahan itu memang berpotensi dijadikan permukiman bagi penduduk Surabaya yang bekerja di pusat kota. Jadi, apakah cocok jika kedua kelurahan itu dikembangkan menjadi perumahan menengah ke atas?
Sebenarnya, pengembangan lahan di Kelurahan Bangkingan dan Sumur Welut sebagai perumahan tidaklah terlalu buruk.  Dengan dibangunnya perumahan-perumahan, maka infrastruktur di daerah itu juga otomatis akan dikembangkan. Selain itu, pengembangan perumahan tidaklah terlalu menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di daerah tersebut jika dibandingkan dengan pembangunan pedagangan-jasa atau industri. Jadi, pengembangan daerah sebagai perumahan bisa dinilai cocok. Akan tetapi, beberapa aturan harus diterapkan oleh pemerintah untuk menjaga perumahan itu agar tidak dialihfungsikan nantinya. Selain itu, perumahan tersebut sebaiknya tidak menggunakan lahan yang sudah dibangun oleh penduduk asli Kelurahan Lakarsantri dan Bangkingan agar tidak mengakibatkan konflik.
        Selain sebagai perumahan, sebenarnya akan lebih baik jika beberapa lahan di Kelurahan Sumur Welut dan Bangkingan juga dijadikan sebagai hutan kota atau RTH. Maka, perlu ditentukan batasan pembangunan perumahan di kedua kelurahan itu. Dengan adanya RTH yang luas, kualitas lingkungan di wilayah itu diharapkan tetap terjaga. Selain itu, RTH atau hutan kota itu dapat menjadi tempat rekreasi yang ramah lingkungan bagi warga sekitar dan warga Surabaya secara umum. 

- Fathul Ali-

Sabtu, 07 Januari 2012

Strategi Pembiayaan Pembangunan Monorel di Surabaya

Seperti yang telah diketahui, rencana pembangunan monorel sebagai moda transportasi massal di berbagai daerah Indonesia memang kembali ramai terdengar beberapa bulan terakhir ini. Beberapa kota seperti Tangerang Selatan, Surabaya, dan Makassar mulai mencoba untuk membangun moda transportasi itu. Pembangunan monorel diperkirakan akan menelan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembiayaan pembangunan yang baik dan tepat untuk menunjang terealisasinya pembangunan monorel tersebut.
                Sebenarnya, pengalaman pembangunan monorel di sebuah kota di Indonesia pernah terjadi di Jakarata. Jakarta sebagai sebuah kota pertama di Indonesia yang melakukan pembangunan monorel akhirnya tidak melanjutkan proyek pembangunan itu. Salah satu masalah yang menyebabkan dihentikannya pembangunan monorel itu adalah masalah pembiayaannya. Hal ini tentunya bisa menjadi pembelajaran bagi kota-kota yang akan membangun monorel.
                Sebagai salah satu kota yang ingin membangun monorel, Surabaya harus menyiapkan  suatu strategi pembangunan yang baik untuk mewujudkan pembangunan itu. Strategi pembangunan yang harus direncanakan adalah strategi dalam pembiayaannya.
                Di dalam sebuah media online, disebutkan mengenai sebuah hasil kajian studi kelayakan proyek pembangunan Monorel Surabaya. Hasil kajian studi kelayakan itu menunjukkan bahwa nilai BCR paling tinggi adalah 1,136 (berlaku bagi investasi jenis angkutan monorel dengan jalur melayang dan sistem tiket flat seharga Rp 10.000). Selain itu, dengan masa investasi selama 40 tahun, asumsi kenaikan harga 20% per lima tahun, dan payback period positif mulai tahun ke-9, diketahui bahwa keuntungan yang didapat pada tahun ke-40 sebesar Rp. 41.512.089,81.
                Dari hasil kajian studi kelayakan yang disampaikan di media itu, terlihat bahwa keuntungan yang didapat pada tahun ke-40 tergolong tidak besar. Padahal, alokasi harga tiket sebesar Rp 10.000,00 tergolong mahal.  Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pembiayaan yang bisa mengatasi kendala tersebut.
                Untuk membiayai proyek yang memerlukan biaya sekitar 1,5 triliun ini, Pemerintah Kota Surabaya berencana melakukan lelang. Hal ini bertujuan untuk mencari investor yang mau  berinvestasi pada proyek itu dan benar-benar ahli dalam melakukan pembangunan monorel. Pemkot Surabaya juga mengatakan bahwa nanti pembangunan akan sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta. Jika nanti rencana pembangunan monorel benar-benar terjadi, maka  bagaimana model pembiayaan pembangunan yang tepat bagi pembangunan monorel ini?  
                Mungkin, berikut adalah beberapa strategi pembiayaan pembangunan yang bisa diterapkan dalam pembangunan monorel di Surabaya, jika hal itu memang benar-benar akan direalisasikan:

1. Sebagai proyek Pemerintah Kota Surabaya, otomatis biaya pembangunan juga harus ditanggung oleh  pemkot. Akan tetapi, pemkot bisa meminta bantuan pada pemerintah provinsi dan pusat. Dana tersebut bisa berupa DAK.

2. Kerjasama antara pemerintah dan swasta. Pembiayaan dibagi antara pemerintah dan swasta, misal pemerintah membiayai pembebasan lahan dan penyediaan transportasi, sedangkan swasta bagian operasional.

3. Selain dari sumber konvensional, dana dari sumber non-konvensional juga sangat/harus dicari. Hal ini dikarenakan biaya pembangunan monorel sangat tinggi. Konsep BOT (Build Operate Transfer) adalah sebuah metode pembiayaan yang bisa digunakan untuk pembangunan monorel. Jadi, pemerintah kota menyerahkan pembiayaan hingga pengoperasiannya kepada pihak pelaksana proyek, tetapi pada jangka waktu tertentu pendapatan proyek ini akan dikembalikan pada pihak pemilik.  Hal ini tentunya didahului kesepakatan bersama antara pihak swasta dan pemerintah.

Dari ketiga strategi pembiayaan tersebut, strategi pembiayaan pembangunan berupa BOT (Built Operate Transfer)  paling cocok untuk diterapkan. Hal itu dikarenakan proyek pembangunan monorel berupa proyek jangka panjang dan memerlukan biaya yang sangat besar.